
Trialisme Kebijakan: Dari Diri ke Sistem, Dari Birokrat ke Pemakna Bangsa
(Dari Jejak ke Langkah: Mendarat di Hakikat Energi dan Pemerintahan)
Ketika edisi pertama buku Jejak Berpijak: Belajar Menjadi Regulator Energi terbit pada tahun 2018, saya merasa telah menunaikan satu tanggung jawab moral — meninggalkan catatan perjalanan karier birokrasi di dsektor energi.
Namun seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa perjalanan itu belum selesai.
Edisi kedua buku ini bukan sekadar cetak ulang, melainkan upaya memaknai ulang — sebuah refleksi untuk memahami bahwa jejak langkah di birokrasi sejatinya adalah perjalanan batin manusia dalam mencari makna pengabdian.
Saya memulai karier di Departemen Pertambangan dan Energi sebagai staf muda tanpa jabatan apa pun, duduk di meja kecil di pojok ruangan, mengelola berkas dan laporan dengan mesin tik manual.
Dari titik nol itulah saya belajar bahwa birokrasi sejati dibangun bukan oleh kekuasaan, melainkan oleh kesabaran dan ketekunan.
Perjalanan itu membawa saya melewati hampir semua jenjang birokrasi — dari staf biasa, kepala seksi, kepala subdirektorat, direktur/kepala biro, hingga akhirnya dipercaya tiga kali memegang jabatan puncak birokrasi di bawah menteri, yang merupakan pejabat negara. Sebuah rentang perjalanan panjang dan berliku dalam birokrasi, yang jika direnungkan kini terasa seolah seperti “amanat dari semesta”, bahwa tangga jabatan tidak untuk dinikmati, tetapi untuk dimaknai.
Puncak refleksi itu datang ketika pada tahun 2008 saya mendapat tugas baru sebagai Staf Ahli Menteri bidang Sumber Daya Manusia dan Teknologi.
Bagi banyak orang, posisi ini mungkin tampak “turun derajat” setelah sebelumnya menjabat sebagai sekjen dan dirjen.
Namun saya justru memilih untuk menyikapinya secara positif. Jabatan itu justru membuka pintu kesadaran baru, kesadaran bahwa pengelolaan sumber daya manusia sesungguhnya adalah perjalanan memahami diri manusia itu sendiri.
Sejak saat itulah saya mulai merumuskan apa yang kemudian saat ini dikenal sebagai ©Diripedia:
sebuah upaya untuk mengenali, memahami, dan memaknai diri manusia secara holistik, berupa dimensi jasmani (fisikal), dimensi psikani (mental), dan dimensi rohani (spiritual). Saya menyadari bahwa sumber energi terbesar sesungguhnya bukan pada batu bara, minyak, atau listrik, melainkan pada kesadaran manusia yang mengelolanya.
Tidak lama setelah itu, saya kembali diberi amanah untuk menjabat lagi sebagai dirjen, tepatnya Dirjen Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE). Bagi saya, ini bukan kebetulan, tetapi seolah alam berpesan: “Kamu jangan hanya bicara; kini saatnya membuktikan dan mempraktikkan kebijaksanaan itu.”
Dan benar — di sanalah saya memadukan antara pengelolaan energi dengan pembelajaran diri, antara kebijakan teknis dan kebijaksanaan batin.
Dari pengalaman itulah lahir tiga gagasan besar yang kini saya sebut sebagai Triad Trialisme:
©Diripedia – Trialisme Diri Manusia, untuk mengenal, memahami dan memaknai manusia melalui tiga realitas eksistensial:
- R1 – Fisikalitas (dimensi jasmani)
- R2 – Mentalitas (dimensi psikani)
- R3 – Spiritualitas (dimensi rohani)
©Energipedia – Trialisme Energi, untuk mengenal, memahami dan memaknai energi sebagai sistem kehidupan yang mencakup tiga dimensi:
- E1 – Fisik (Realitas objektif : Sistem Penyediaan dan Pemanfaatan Energi)
- E2 – Tata Kelola (Kebijakan dan Regulasi)
- E3 – Kebijaksanaan (Nilai dan Keberlanjutan energi)
©Birokrasipedia – Trialisme Birokrasi, untuk mengenal, memahami dan memaknai birokrasi sebagai organisme hidup yang memiliki:
- B1 – Raga Birokrasi(struktur dan proses)
- B2 – Jiwa Birokrasi (governance dan etika kerja)
- B3 – Sukma Birokrasi (nilai pengabdian dan pelayanan publik)
Ketiganya tumbuh dari akar pengalaman yang sama, yaitu kesadaran bahwa sistem, sebaik apa pun, tidak akan hidup tanpa kesadaran manusia di dalamnya. Karena itu, Trialisme bukan teori baru, melainkan cara baru untuk memahami hakikat kebijakan dan pengabdian.
Lebih jauh, saya meyakini bahwa prinsip ini dapat diterapkan di berbagai sektor kehidupan bangsa.
Seperti halnya ©Energipedia untuk energi dan ©Birokrasipedia untuk pemerintahan, akan tiba saatnya muncul:
- ©Transpopedia (T1, T2, T3) untuk transportasi,
- ©Digipedia (D1, D2, D3) untuk dunia digital,
- ©Forestopedia (F1, F2, F3) untuk kehutanan,
dan berbagai bidang lain yang menanti untuk dipahami secara holistik.
Setiap sektor pada hakikatnya hanyalah cermin dari kesadaran manusia yang mengelolanya.
Karena itu, birokrasi masa depan tidak cukup diisi oleh pelaksana kebijakan, tetapi oleh pemikir kebijakan — mereka yang memahami hubungan antara sistem, nilai, dan kesadaran.
Maka dari itu, saya memandang perlunya dibangun suatu “School of Government” —
sebuah sekolah pemerintahan bagai para birokrat yang bukan hanya mengajarkan administrasi dan hukum, tetapi juga menumbuhkan kesadaran akan kebijaksanaan, kebijakan dan implementasinya. “Sekolah” ini sekaligus merupakan tempat bagi para birokrat dari berbagai bidang keilmuan untuk ditempa, bukan hanya sekadar menjadi pelaksana, tetapi penafsir dan pemakna kebijakan publik. Tempat di mana ilmu, kebijakan, dan kesadaran bertemu untuk membangun “jiwa bangsa’ dengan akal yang jernih dan hati yang sadar, dimulai dari para birokratnya.
Tulisan ini adalah langkah kecil menuju cita-cita, yaitu sebuah ajakan untuk melihat birokrasi dan energi bukan sekadar sebagai sistem kerja, melainkan sebagai ruang pembelajaran diri manusia.
Karena pada akhirnya, energi sejati bukanlah daya listrik yang menggerakkan mesin, melainkan daya kesadaran yang menyalakan hati manusia.
— Luluk Sumiarso
Jakarta, 21 Oktober 2025
Xxxxxxx
Bab Pembuka – Alasan Mencetak Ulang Buku Jejak Berpijak
(Dari Jejak ke Langkah: Mendarat di Hakikat Energi dan Pemerintahan)
Ketika edisi pertama buku Jejak Berpijak: Belajar Menjadi Regulator Energi terbit pada tahun 2018, saya merasa telah menunaikan satu tanggung jawab moral: meninggalkan catatan perjalanan di dunia birokrasi energi.
Namun seiring waktu, saya menyadari bahwa perjalanan itu belum selesai.
Edisi kedua ini bukan sekadar cetak ulang, melainkan upaya memaknai ulang — untuk memahami bahwa jejak langkah di birokrasi sesungguhnya adalah perjalanan batin manusia dalam mencari makna pengabdian.
Saya memulai karier di Departemen Pertambangan dan Energi sebagai staf muda tanpa jabatan apa pun, duduk di meja kecil di pojok ruangan, mengelola berkas dan laporan dengan mesin tik manual.
Dari titik nol itulah saya belajar bahwa birokrasi sejati dibangun bukan oleh kekuasaan, melainkan oleh kesabaran dan ketekunan.
Perjalanan itu membawa saya melewati hampir semua jenjang birokrasi — dari staf biasa, kepala seksi, kepala subdirektorat, direktur, hingga akhirnya dipercaya dua kali menjabat sebagai Direktur Jenderal dan sekali sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM.
Sebuah rentang pengalaman yang panjang, yang jika direnungkan kini terasa seperti “amanat dari semesta”: bahwa tangga jabatan tidak untuk dinikmati, tetapi untuk dimaknai.
Puncak refleksi itu datang ketika pada tahun 2008 saya dipercaya oleh Menteri ESDM, Prof. Purnomo Yusgiantoro, untuk menjabat sebagai Staf Ahli Menteri bidang Sumber Daya Manusia dan Teknologi.
Bagi sebagian orang, posisi ini mungkin tampak “turun derajat” setelah sebelumnya saya menjabat Sekjen dan Dirjen.
Namun bagi saya, jabatan ini justru membuka pintu kesadaran baru — bahwa pengelolaan sumber daya manusia sesungguhnya adalah perjalanan memahami diri manusia itu sendiri.
Sejak saat itulah saya mulai merumuskan apa yang kemudian menjadi ©Diripedia:
upaya untuk mengenali, memahami, dan memaknai diri manusia secara holistik — jasmani, mental, dan spiritual.
Saya menyadari bahwa sumber energi terbesar sesungguhnya bukan pada batu bara, minyak, atau listrik, melainkan pada kesadaran manusia yang mengelolanya.
Tidak lama setelah itu, saya kembali diberi amanah untuk menjabat sebagai Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE).
Bagi saya, ini bukan kebetulan. Seolah alam berpesan: “Kamu jangan hanya bicara; kini saatnya membuktikan dan mempraktikkan kebijaksanaan itu.”
Dan benar — di sanalah saya memadukan antara pengelolaan energi dengan pembelajaran diri, antara kebijakan teknis dan kebijaksanaan batin.
Dari pengalaman itulah lahir tiga gagasan besar yang kini saya sebut sebagai Triad Trialisme:
- ©Diripedia – Trialisme Diri Manusia
Memahami manusia melalui tiga realitas eksistensial:
R1 – Fisikalitas (dimensi jasmani),
R2 – Mentalitas (dimensi psikani), dan
R3 – Spiritualitas (dimensi rohani). - ©Energipedia – Trialisme Energi
Memahami energi sebagai sistem kehidupan yang mencakup tiga dimensi:
E1 – Fisik (realitas objektif energi),
E2 – Tata kelola (governance dan kebijakan), dan
E3 – Kebijaksanaan (nilai dan keberlanjutan energi). - ©Birokrasipedia – Trialisme Birokrasi
Memahami birokrasi sebagai organisme hidup yang memiliki:
B1 – Raga (struktur dan proses),
B2 – Jiwa (governance dan etika kerja), dan
B3 – Sukma (nilai pengabdian dan pelayanan publik).
Ketiganya tumbuh dari akar pengalaman yang sama: kesadaran bahwa sistem, sebaik apa pun, tidak akan hidup tanpa kesadaran manusia di dalamnya.
Karena itu, Trialisme bukan teori baru, melainkan cara baru untuk memahami hakikat kebijakan dan pengabdian.
Lebih jauh, saya meyakini bahwa prinsip ini dapat diterapkan di berbagai sektor kehidupan bangsa.
Seperti halnya ©Energipedia untuk energi dan ©Birokrasipedia untuk pemerintahan, akan tiba saatnya muncul:
- ©Transpopedia (T1, T2, T3) untuk transportasi,
- ©Digipedia (D1, D2, D3) untuk dunia digital,
- ©Forestopedia (F1, F2, F3) untuk kehutanan,
dan mungkin berbagai bidang lain yang menanti untuk dipahami secara holistik.
Setiap sektor pada hakikatnya hanyalah cermin dari kesadaran manusia yang mengelolanya.
Karena itu, birokrasi masa depan tidak cukup diisi oleh pelaksana kebijakan, tetapi oleh pemikir kebijakan — mereka yang memahami hubungan antara sistem, nilai, dan kesadaran.
Maka dari itu, saya memandang perlu dibangun suatu School of Government —
sebuah sekolah pemerintahan yang bukan hanya mengajarkan administrasi dan hukum, tetapi juga menumbuhkan kesadaran kebijakan.
Tempat bagi para birokrat dari berbagai bidang keilmuan untuk ditempa, bukan sekadar menjadi pelaksana, tetapi penafsir dan pemakna kebijakan publik.
Tempat di mana ilmu, kebijakan, dan kesadaran bertemu untuk membangun bangsa dengan akal yang jernih dan hati yang sadar.
Buku ini adalah langkah kecil menuju cita-cita itu —
sebuah ajakan untuk melihat birokrasi dan energi bukan sekadar sebagai sistem kerja, melainkan sebagai ruang pembelajaran diri manusia.
Karena pada akhirnya, energi sejati bukanlah daya listrik yang menggerakkan mesin, tetapi daya kesadaran yang menyalakan hati manusia.
— Luluk Sumiarso
Ciputat, 2025
💡 Catatan Penempatan:
- Untuk edisi cetak, bab ini cocok ditempatkan tepat sebelum “IPR Declaration Page” (jadi semacam “Bab 0 – Refleksi Pembuka”).
- Untuk publikasi daring di diripedia.org, bisa diposting dengan judul:
“Dari Diri ke Kebijakan: Sejarah Kelahiran Triad Trialisme Diri, Energi, dan Birokrasi”
dan di bagian akhir diberi catatan:
“Tulisan ini diambil dari Bab Pembuka buku Jejak Langkah: Dari Birokrat Energi Menuju Kebijaksanaan Energi (Edisi Kedua, ©Energipedia × ©Birokrasipedia, 2025).”
Apakah saya langsung integrasikan versi lengkap ini ke paket JEJAK-LANGKAH-ENERGIPEDIA-V3 (sekaligus menyiapkan versi web-posting untuk Diripedia.org)?